Toponimi Daerah Di Jawa Barat

Toponimi daerah Jawa Barat
Beberapa minggu yang lalu, saya mendapat ‘rezeki’ yang sangat berharga dari Guru saya, Bapak Klaas J. Villanueva…Beliau membocorkan sedikit pekerjaannya dalam menerjemahkan tulisan L.F. van Gent tentang penamaan geografis di Jawa Barat. L.F. van Gent adalah seorang ’surveyor’ zaman penjajahan Belanda yang bekerja pada Dinas Topografi dan melakukan survay ke daerah Jawa Barat yang saat itu mereka sebut ‘Preanger’ pada sekitar tahun 1915.
Pak Klaas sudah menerjemahkan tulisan ini, tapi karena belum dipublikasikan, maka saya hanya mengambil ’secuil’ untuk menuntaskan rasa ingin ‘berbagi’ semoga mendapat izin dari empunya…

Penamaan geografi yang dibentuk teratur
Selain baik untuk telinga orang Sunda, yang cenderung berceritera tentang daerahnya, syarat untuk mencari arti dari nama geografi pada umumnya tidak ada, kecuali pengkaji mampu untuk memisahkan awalan, sisipan, akhiran, sehingga muncul kata dasar aslinya. Kecuali perubahan yang dikenal umum terhadap bunyi awalan dalam pembentukan kata kerja aktif contohnya timbang – nimbang, pernah – mernah dst., orang Sunda juga mengenal penempatan bunyian hidung di depan, yang mana sama mudahnya dibedakan seperti ‘awalan, sisipan, akhiran[1]‘ dan yang sering dipakai bunyi ucapan berganda (verdubbelklanken). Tiap Ilmu Bahasa Sunda akan memberi penjelasan hal ini. Akan tetapi kata dasar dapat saja menjadi kabur dikarenakan:
Penyatuan (samentreken)
Corenda = ci-urug-endah (air terjun indah)
Poma = pa-huma-n (sawah kering)
Krawang = karawang (pantai yang robek atau kusut)
Cirateun = ci-irateun (sungai yang dipinggirnya ditumbuhi bambu yang langsing)
Blagung = bala-agung (hutan luas)
Batugara = batur-nagara (mirip dengan ibu kota)

Pemendekan/penyingkatan:
Cikatul - dari Ci Bakatul (ampas padi hasil gilingan?; zemelen)
G. Tugagung – dari G. Ratu kagok (raja yang terganggu dalam perjalanan)
Ci Bahubang – dari Ci Bahu bangke (bau bangkai)

Perusakan kata:
Malangbong - dari Malangmang (kelihatan tapi kabur)[2]),
Manonjaya - dari Mangun (wangunjaya, lembaga ketentaraan)
D. Citrap - dari Ci Teureup (sejenis pohon)
D. Conggeang – dari Cungging (kelandaian lapangan)

Perusakan sebutan ini kadang terjadi dengan sengaja, bila ditakutkan, bahwa penyebutan kata yang sebenarnya adalah pantang atau dapat mengakibatkan kecelakaan, contohnya D. Ganeas – seperti ditulis diatas – harusnya : D. Koneyas, Pohgaji harusnya Puhaci (manifestasi dari NYAI SRI dewi padi) dst. Demikian juga pemukiman yang tidak selesai dari bupati Ci Ancang sebelah Timur dari Ciamis di D. Utama yaitu Wurungdiuk (pemukiman yang gagal), sekarang umum disebut Burungdiuk.
Bahwasanya pendengaran harus ditajamkan, ternyata dari nama-nama yang tak dijelaskan, yang dapat ditemukan pada peta topografi seperti:
G. Segel, yang dimaksud adalah Seel (yaitu jenis rotan)
Pr. Kroon, ,, Karoeng (yaitu jenis kacang)
G. Parigi ,, Paregreg (yaitu berdiri tegak) dst.

________________________________________
[1] Awalan kata adalah n, ny, m, ng, mang, nyang, barang, pi, si, ti, ting, di, ka, pa, pang, per, pra, pri, pan, ban dan sa, kadangkala ar dan al.
[2] Orang Sunda juga menjelaskan, Malangbong = Malang – tembong = menghalangi penglihatan/muka

Lanjutan secuil hasil terjemahkan tulisan L.F. van Gent tentang penamaan geografis di Jawa Barat. L.F. van Gent (seorang ’surveyor’ zaman penjajahan Belanda yang bekerja pada Dinas Topografi dan melakukan survay ke daerah Jawa Barat yang saat itu mereka sebut ‘Preanger’ pada sekitar tahun 1915) oleh Pak Klaas J. Villanueva.

Penamaan unsur geografis menurut rupa.

Ini sering dipakai terkait upaya dahulu untuk mengungkap sesuatu. Selain yang telah sepintas lalu dikemukakan, masih diberi tempat hal yang berikut:
G. Margawindu = gunung, sekeliling mana ada jalan (marga) melingkar, seakan-akan memakan waktu satu windu (7 tahun, yaitu sangat lama).
Giri Sunya = gunung kosong = gunung khayalan/tasawuf = tempat tinggal imam tua
G. Dangka = gunung untuk menguraikan jiwa = tempat tinggal roh
Ci Haurseah = air, yang berdersik bak angin melalui rumpun bambu
D. Cituak = desa, dimana tumbuh rumpun bambu, demikian tebalnya, sehingga cocok untuk menyimpan tuak
G. Beser = gunung, yang selalu cenderung untuk kencing, yaitu hujan selalu di waktu yang tidak tentu
G. Weweranda = gunung, berdiri sendiri seperti wanita (wewe), yang janda (randa)
Lebak Sibedug = lembah kematian, dengan kata lain tempat pemakaman, dimana ada batu yang berbentuk bedug mesigit (mesjid), jadi gerbang ke kebahagiaan.

Lanjutan dari terjemahan tulisan van Gent oleh Pak Klaas J. Villanueva…kali ini tentang unsur sungai dan danau.
Sungai-sungai umumnya disebut dengan kata Ci, singkatan dari cai = air. Sungai pegunungan juga dinamakan wahangan atau walungan. Bila kata asalnya telah terkait dengan istilah kali, penamaan dapat berganda, contoh Ci Kalimiring, tetapi ada juga yang arti kali-nya sudah tiada, contoh Ci Kalaga = Ci Kali Age = sungai aliran cepat.
Kadang sungai-sungai memakai nama dari gunung, darimana ia berasal seperti Ci Datar dari G. Datar (gunung yang berbentuk datar), Ci Sanggar dari G. Sanggar (gunung berkorban), Ci Gunungagung dari G. Agung, dan lain sebagainya.

Istilah-istilah yang digunakan untuk penamaan sungai-sungai dapat dipisah dengan kata-kata yang:
1. Berasal dari Sanskrit dan Kawi, dan penamaan mana jadinya berasal dari waktu dahulu sekali, seperti dikemukakan di atas.
2. Menjelaskan bagaimana sifat dari sungai: berang (marah), harus (bersuara keras), tarik (mengalir cepat), sunter (bergetar keras), leuleuy (mengalir halus), gereleng (suara bebatuan bergerak/mengalir), beber (berlumpur).
3. Menunjuk warna dari air; bodas (putih), hideung (hitam), muruy (dimana orang dapat bercermin), biru, beureum (merah), jingga (oranye), hejo (dan poetisch jenar = hijau), borelang (banyak warna), koneng (kurkuma: darimana warna kuning disadap), beet (berbagai macam warna).
4. Melaporkan keadaan: biyuk (bau), haseum (asem), balirang (walirang, mengandung belerang), asin (rasa garam), herang (jernih; helder), kiruh (keruh), keumeuh atau kiih (urine; air seni), amis (manis), merang (membuat gatal).
5. Terkait banyaknya air: mahi (cukup), saat (kering), tuhur (kering), burial (bergolak).
6. Terkait jalannya aliran sungai: buni (tersimpan), lingkung (berbelok-belok), lanang (kelaki-lakian), wadon (kewanitaan).
7. Menerangkan apa yang terkesan pada waktu pemberian nama pertama kali seperti:
• binatang seperti badak, buruy (kodok muda), cacing, kalong, sondari (ayam hutan), lutung (monyet), belekek (burung belekok), lalay (kalong).
• Ikan seperti paray (ikan jenis kecil), bogo (sejenis ikan gabus), hurang (garnaal).
• Pohon dan tanaman seperti kumpay (jenis anggrek), kondang (pohon fijg), tarum (indigo), jambu, bareno.
• Jaringan pipa air umumnya memakai nama susukan, sedangkan nama-nama: talang, ereng (saluran pembuangan), pancoran (jalan air dari bambu), solokan (kanal), parigi (selokan yang digali) umumnya dihubungkan dengan kata-kata gede (besar), anjar (baru), lawas (tua).
• Sumber air, yang mengandung air panas, tanpa kecuali bernama Ci Panas. Nama seuseupan menerangkan, bahwa sumber air memiliki air asin, sedangkan istilah sumur dipakai terutama untuk kedalaman yang bukan alami, darimana air muncul. Sumber asal dari satu sungai sering dinamakan dengan kata sirah (kepala) dan bila ini sekaligus merupakan sumber air maka dipakai istilah bulakan. Nama Sangkanurip dilereng G. Cirime mangacu kepada tersedianya banyak sumber air (kawi: sangkan = banyak).
• Di dataran tinggi Bandoeng akan dijumpai nama dalam jumlah banyak yang terbentuk dengan kata ranca (kolam). Kata ini umumnya dikombinasi dengan nama-nama binatang yang ada ditempat itu seperti bagong (babi), ekek (burung parkit), heulang (elang), nilem (jenis ikan air tawar), oray (ular), bango (jenis burung bangau), dst. atau dari pohon-pohon atau rumpunan seperti pacing, bangke (bunga yang berbau tidak enak), lame (jenis karet).
• Perbedaan antara ranca dan rawa adalah, bahwa hanya yang disebut pertama yang dapat ditanami padi.
Terkait bahasan tentang penamaan yang paling sederhana dapat diperhitungkan nama-nama sungai seperti Ci Kudapateuh, Ci Maungpaeh dst., yang artinya kuda yang pincang atau macan yang mati. Danau-danau dibedakan dalam situ (danau pegunungan yang terbentuk secara alami), dano (hamparan air), dan talaga (hamparan air besar atau danau kawah), sedangkan untuk telaga ikan diberi nama empang atau balong, yang mana tergantung dari besar kecilnya. Kadangkala dipakai nama-nama yang aneh, yang mana didasari suatu kesamaan, yang dilihat orang Sunda darinya seperti Situ Birit (pantat), Situ Bagendit (Baga Kendit = “maaf” kemaluan wanita).

Kali ini tentang penamaan unsur pemukiman di daerah Jawa Barat, masih berasal dari buku Van Gent yang diterjemahkan oleh guru Kami, Bapak Klaas J. Villanueva.

Desa pada umumnya disebut dengan kata lembur; satu kumpulan mendapat nama kampung, pa-dukuh-an atau ampian (Banten). Kebanyakan nama-nama desa terbentuk dengan Ci dan jadi menyandang dari sungai, di samping mana desa itu terletak. Dikarenakan Jawa Barat yang kaya air dan kurang berpenduduk (tahun 1915, waktu Van Gent menulis laporan ini) itu dan tiap kumpulan keluarga dapat mandiri bermukim di sebelah aliran air satu sungai, maka tumbuh kebiasaan untuk menyebut pemukiman itu, yang batas-batasnya ditentukan dengan pemisahan oleh air, dengan nama sungai.
Dalam nama-nama desa sering tersimpan ingatan tentang pemukiman yang pertama; perbedaan dalam penamaan jenis ini juga sangat besar, sehingga beberapa perlu dilaporkan. Sebutan yang paling sering muncul, dan yang umumnya terkait dengan nama desa induk ialah babakan (diturunkan dari babak = pengulitan dari kulit, jadi babakan = pembukaan baru). Contohnya dekat Cimahi ditemukan Bab. Garut, di Sumedang ada Bab. Bandung dst., artinya digarap orang-orang dari Garut, Bandung dst.

Penamaan lain, baik yang berdiri sendiri atau hasil penggabungan, yang juga dipakai, adalah: pondok (hut, tempat bermalam), luwuk (tempat), balandungan (los atau bangsal (loods), bangunan kayu), saung (gubug sederhana), latar dan buruan (halaman), cantilan (pemukiman), gandek (bangunan gandengan), talahab (gubug bambu yang terbuka), babalean (bangku istirahat), kandang, gubug, ranggon (rumah di pohon – seperti yang sebelum 1850 masih ditemukan di pantai selatan -), pangkalan (tempat tinggal sementara, atau pelabuhan di sungai), papango (rumah jaga ), joglo (gubug kecil), warung (tempat jualan), gardu (rumah jaga), sindang (tempat nginap) dst.

Tidak mengherankan, bahwa nama dari dia, yang pertama bermukim disitu, tersimpan terus dalam nama desa. Kendatipun yang demikian tidak sesering terjadi seperti di Jawa Tengah, nama-nama Desa Samsir, Desa Ciwastra, Desa Bojongbraja cukup menjelaskan bahwa SAMSIR, WASTRA, BRADJA adalah pendirinya. Juga Desa Soeradita di Cisedane namanya terkait Sersan (pribumi) SOERADITA, yang tahun 1705 memperoleh tanah disitu. Dalam kasus lain pemukiman atau pengarapan memperoleh nama desa dari asal para pendatang dan jarang ditemui pengulangan; seperti telah dikemukakan diatas kebiasaan itu telah mengakar di Jawa.

Perbedaan utama dari tanah-tanah tegal (lapangan yang ditumbuhi), talun (pengarapan baru), kebon (kebun), sawah atau serang (diairi), huma (sawah tak diairi, juga disebut tipar dan gaga), bera (tanah terbuka tidak digarap), lapang (tanah datar tidak ditanami), bubulak (padang rumput) sering ditemukan dalam banyak nama. Keadaan dimana kebanyakan desa terbentuk diwaktu yang cukup muda, telah mengakibatkan, bahwa sebutan-sebutan seperti tajur (tanah yang ditanami) dan baru (pengarapan baru, terutama kebun kopi) terpakai untuk penamaan desa baru yang terbentuk disana.

Seringkali satu nama memberi keterangan tentang keadaan tanah setempat – tanpa perlu mempelajari peta – oleh kata-kata yang dipakai tidak disusun menyatu: jelegong (tanah yang berombak), gorowong (tempat kosong), legok (lembah dalam), waspada (pemadangan jelas), degla atau negla (pamandangan terbuka) -> Pandeglaan telah berubah menjadi Pandeglang; malangmang (terlihat tetapi kurang jelas), nanggerang (tinggi di pegunungan), patenggang (terletak tinggi dan terpisah), tenjo (pemandangan tak terhalang), ngalindung (dikelilingi gunung, berlokasi bagus), genteng (seperti untuk atap, jadi di aliran air antara gunung), ranca (lahan berawa, kolam lumpur), lega (luas), sedangkan jenis tanah dan kesuburan yang lebih atau kurang akan jelas dari sebutan-sebutan: gemuk dan lendo, cadas (berbatu), nagrag (tidak subur), lebu (pasir gunung api), kelang (kering atau layu), bongkor (di Banten = tak dibangun), tarengton (dengan banyak batu) dst.

Hal kelebihan atau kekurangan dari satu tempat dikemukakan dengan sebutan seperti langen (tempat bersenang), copong (tempat memulihkan batin), beres (tertata rapih), caang (diterangi cahaya), pamoyanan (disinari matahari pagi), nerdika (bebas), sedep (mengenakkan), sembawa (bahagia) dst.

Pemukiman di hutan-hutan seringkali mendapat penamaan gabungan dari: kadu dan leuweung (hutan), bala (hutan belantara), dungus dan rujuk (tanaman semak-semak), bihbul (semak), langgong (hutan tertutup), dst.

Desa-desa di lereng-lereng gunung, dengan pengulangan mengambil nama gunung dan disatukan dengan kata-kata gunung atau pasir. Lokasinya dijelaskan dengan sebutan-sebutan seperti jurang, lamping (lereng), longkrang (jurang sempit), gawir (lereng terjal), sela (pungung gunung) nagreg (berdiri tegak) dll.

Kampung-kampung dipingiran sungai-sungai, mendapatkan darinya sesuatu yang khas, yang ditata bersusun dengan bojong (belokan sungai), parung (tempat dangkal disungai, sering secara salah ditulis parang), leuwi (putaran air), karees (tepian dangkal sungai bertumpuk pasir), cukang (jembatan lepas), tambakan (bendungan), bendung (tanggul), tanggulan (tanggul), tambak (penutup), curug (air terjun), parakan (bagian sungai yang dibendung), pamotan (peralihan), bandungan (rakit besar untuk penyeberangan), jambatan, sask, dst.

Untuk penjelasan yang baik tentang lokasi satu sama lain dari kampung-kampung bernama sama ataupun bagian-bagian dari desa, selain dipakai sebutan-sebutan kaler (utara), weta (timur), kidul (selatan) dan kulon (barat), di wilayah gunung sering dipakai: tonggoh (letak lebih tinggi), tengah (letak ditengah) dan landeuh (letak lebih bawah), hilir (aliran sebelah bawah), girang (aliran disebelah atas), peuntas (diseberang sungai), lebih lanjut singkur (sendiri, kemudian), joglo (terpencil), dst.

Dalam penamaan dengan tanjung artinya tidak selalu titik ujung atau lidah daratan, tetapi dapat juga berarti: letak tinggi diatas punggung gunung. Tanjungsari letaknya sebagai contoh dipisahkan oleh sungai antara Preanger Utara dan Selatan; Tanjungnagara adalah satu tempat, darimana dapat dilihat keseluruhan negara (dalam hal ini Sumedang) dst.

Lanjutan dari terjemahan tulisan van Gent oleh Pak Klaas J. Villanueva, kali ini tentang unsur “kejuruan” atau profesi dalam nama desa. Salah satu kearifan masa lalu yang sangat menghargai profesi atau keahlian sehingga diabadikan dalam nama desa.

Desa Paneuleum = desa pengecat biru,
Desa Panjunan atau Pariyuk = desa pembuat panci dari tanah,
Desa Paledang = desa pengrajin tembaga
Desa Sayang = desa pengrajin tembaga merah,
Desa Kamal = desa tempat pembuatan garam,
Desa Liyo = desa dimana dibuat bata dan genteng,
Desa Penjaringan = desa nelayan atau penangkap ikan.

Juga kehadiran beberapa orang atau karakter suatu kelompok dapat dicatat dengan nama seperti Desa Kabalen (wilayah orang Bali), Desa Kamandelikan (wilayah Pangeran Mandelika), Desa Panjalu (wilayah pejuang berani).
Beberapa nama terkait dengan pembuatan jalan contohnya Andir (pengawas jalan), Jagal (pekerja wajib; heerendienstplichtge), dan Tagog (tempat jaga/kantor pos).
Terlihat bahwa masyarakat Jawa Barat sejak dulu sangat menghargai suatu keahlian atau profesi, zaman ini namanya spesialisasi…tanpa memandang apakah kerjaan kantoran, lapangan, kasar, halus dan lain sebagainya, yang penting ahli dan bermanfaat…

Kali ini lanjutan penamaan unsur pemukiman di daerah Jawa Barat, masih berasal dari buku Van Gent yang diterjemahkan oleh guru Kami, Bapak Klaas J. Villanueva.
Selain berkaitan dengan nama sungai, nama pemukiman di Jawa Barat berasal dari jenis tumbuhan, antara lain yang tercatat adalah:

Dari jenis pohon-pohon liar
- Muncang (sejenis kemiri),
- Caringin (waringin),
- Sinagar dan gebang (jenis pohon palem),
- Angsana dan teureup (berkaret),
- Kiara, kolelet dan hampelas (jenis ficus; ficussoorten),
- Kareumbi dan koeray (dengan kayu lembek),
- Dahu (dengan buah masam),
- Secang (pohon kayu cat),
- Nagasari (akasia) dan lebihkruang dikenal seperti garut (yaitu sejenis akasia, yang sebagai contoh ditemukan juga di ibukota yang bernama sama dari wilayah),
- Medang (nama Sumedang menurut beberapa orang berarti tidak lain daripada pohon medang yang besar),
- Leles, dan lainnya.

Juga ada beberapa dari nama-nama pohon-pohon hutan, misalnya: nangsi, gintung, bunut, karoja, putri (Banyak orang cenderung untuk memberi pada sebutan putri arti seorang anak perempuan raja; kecuali untuk beberapa kasus, semua penamaan dengan putri, yang umumnya menyangkut gunung, terkait dengan ditemukannya pohon putri (cemara) disana).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar